RUMAH ADAT

RUMAH ADAT
Rumah ada Desa Buluh Cina nan cukup megah

Kamis, 05 Juni 2008

Rabu, 04 Juni 2008

SELAYANG PANDANG BULUH CINA

Desa Wisata Buluh Cina dibelah oleh Sungai Kampar yang dikelilingi oleh hutan tropis seluas 100 (seratus) hektare lebih. Desa Buluh Cina terbagi ke dalam tiga dusun dengan jumlah penduduk sekitar 1500 jiwa atau 300 kepala keluarga (KK). Desa Buluh Cina merupakan desa adat tertua yang mengilhami kelahiran desa-desa yang ada di sekitarnya, seperti Desa Watas Hutan, Desa Pangkalan Baru, Desa Baru, Desa Pandau Jaya dan Desa Tanah Merah. Adat istiadat Desa Buluh Cina mirip dengan masyarakat XIII Koto Kampar (Riau) dan Minang (Sumatera Barat). Penduduk setempat dibagi ke dalam dua suku berdasarkan garis keturunan dari pihak ibu (matrilinial), yaitu Suku Melayu dengan pucuk pimpinan adatnya Datuk Majolelo dan Suku Domo dengan pucuk pimpinan adatnya Datuk Tumanggung. Setelah Datuk Majolelo pindah ke Desa Watas Hutan, pucuk pimpinan adat Suku Melayu dipegang oleh Datuk Bagindo. Sejak tahun 1997 masyarakat desa tersebut dilarang berjudi, minuman keras dan mengkonsumsi narkoba. Kebijakan itu dibarengi dengan larangan menjual atau menyewa kaset/kepingan VCD.
B. Keistimewaan
Letak Desa Buluh Cina sangatlah unik karena diapit oleh sebelas danau dari arah utara dan selatan, yang lebarnya rata-rata 100 meter dan luasnya berkisar antara 200-3000 meter. Di sisi utara desa terdapat tiga danau, yaitu Danau Rengas, Danau Rawang dan Danau Lagun. Sedangkan di sisi selatan desa terdapat delapan danau, yaitu Danau Tuok Tonga, Danau Baru, Danau Tanjung Putus, Danau Pinang Dalam, Danau Pinang Luar, Danau Rayo, Danau Tanjung Baling dan Danau Bunte. Di desa ini pengunjung bisa melihat rumah panggung khas Melayu Kampar, Balai Adat dan museum dua suku yang berisi peralatan-peralatan yang diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur. Di sepanjang tepian sungai, pengunjung dapat menyaksikan anak-anak mandi dan wanita mencuci di atas rakit-rakit. Sampan-sampan penduduk yang lalu lalang mencari ikan atau pergi ke ladang menambah keindahan suasana desa. Pengunjung yang tidak suka berdiam diri bisa melakukan kegiatan memancing di sehiliran sungai Kampar atau di sebelas danau alam di yang ada di sekitarnya. Bagi yang suka berpetualang, dapat menyusuri hutan belantara yang berisi ratusan pohon kayu yang menjulang tinggi. Di lokasi ini pengunjung bisa menjumpai berbagai jenis pakis gajah, pinang-pinang, anggrek hutan, serta berbagai jenis satwa liar, seperti rusa, kijang, monyet, siamang, musang, trenggiling, landak dan tupai. Pengunjung dapat bermain bola voli di pantai yang berpasir lembut. Para pencinta alam yang ingin bermalam dapat berkemah di tanjung-tanjung sungai
C. Lokasi
Terletak di Desa Buluh Cina, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia.
D. Akses
Lokasi Desa Wisata Buluh Cina berjarak sekitar 20 kilometer atau setengah jam perjalanan mengendarai mobil dari Kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau. Dan berjarak sekitar 90 kilometer dari Bangkinang, ibukota Kabupaten Kampar.
E. Harga Tiket
Dalam konfirmasi
F. Akomodasi dan Fasilitas
Di Desa Buluh Cina terdapat Perpustakaan Negeri Enam Tanjung dan Aquarium Ikan Sungai yang bisa diakses oleh para pengunjung. Setiap tanggal 9 Agustus, untuk memperingati HUT Provinsi Riau, di desa tersebut diadakan perlombaan Perahu Naga yang diikuti oleh berbagai kalangan dan dari berbagai daerah, bahkan ada yang dari luar negeri. Pada event tahunan itu ditampilkan berbagai atraksi kesenian tradisional setempat dan aneka lomba pendukung lainnya.

Pelestarian Hutan Tidak Berjalan Kolaborasi Aparat-Warga

Masyarakat suku Melayu dan suku Domo yang menetap di Desa Buluhcina, sekitar 21 km dari Pekanbaru, di tepi Sungai Kampar, Kabupaten Kampar, Riau, kini resah. Upaya melestarikan hutan di desa mereka kurang mendapat dukungan pemerintah. Sejak tahun 2004, warga Buluhcina menggamit Pemerintah Provinsi Riau dengan harapan yang berwenang bersedia membantu usaha pelestarian hutan, termasuk pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan di luar kawasan lindung untuk perkebunan.

"Hasilnya nyata terlihat, 2.500 hektar luasan hutan tertutupi tegakan pohon tanpa dapat diganggu pembalak maupun perambah liar. Akan tetapi, kami tidak dapat berupaya maksimal tanpa dukungan dari pemerintah," kata tokoh masyarakat setempat yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum Riau Makmur Hendrik, akhir pekan lalu.

Meski memiliki tekad kuat dan berani berkorban harta demi menyelamatkan hutan mereka, warga Desa Buluhcina membutuhkan komitmen dari pemerintah provinsi untuk memperkuat usaha melestarikan hutan. Saat ini kawasan hutan telah dikepung rapat perusahaan pemegang HTI dan tawaran untuk menyewa lahan terus berdatangan. Tekanan untuk menyerahkan hutan kepada para pengusaha itu pun cukup besar.

Menyiasati hal ini, warga berusaha mengajak Pemerintah Provinsi Riau bekerja sama mengelola hutan. Dari 2.500 hektar hutan, 1.000 hektar di antaranya dihibahkan warga untuk dijadikan kawasan lindung. Sementara, 1.500 hektar tersisa diharapkan dapat dikelola untuk perkebunan atau pemanfaatan hutan lainnya.

Tanggal 24 Maret 2004, hutan untuk kawasan lindung diserahkan langsung oleh warga kepada Gubernur Riau Rusli Zainal. Mereka berharap rencana pengembangan kawasan pun dapat segera dilakukan. Dua tahun berlalu, pengembangan kawasan untuk wisata maupun pengelolaan hutan berbasis masyarakat tak kunjung dilakukan.

Kepala Dinas Kehutanan Riau Burhanuddin Husein menegaskan, pemprov menyambut baik gagasan warga. Burhanuddin juga menawarkan pengelolaan kawasan sebagai areal hutan tanaman rakyat (HTR). Dalam pengelolaan HTR, lahan tetap menjadi milik masyarakat dan diolah sesuai kesepakatan intern penduduk setempat. Pemprov hanya berperan sebagai penyedia bibit tanaman industri yang diperlukan, seperti karet, akasia, atau sawit.

Akan tetapi, Burhanuddin mengakui, yang menghambat laju proses pengembangan kawasan hutan alam Buluhcina adalah belum adanya payung hukum. Upaya membuat peraturan daerah belum disetujui DPRD Riau. Makmur Hendrik menegaskan, pihaknya tak mau pesimis. Dengan atau tanpa bantuan pemerintah, masyarakat Buluhcina akan tetap berusaha melestarikan hutan.

Mereka berharap bukti bahwa masyarakat mampu mempertahankan hutan di Buluhcina akan memicu masyarakat lain di Riau berbuat hal serupa. Jika itu tercapai, niscaya Riau tak perlu lagi gelisah akan kehilangan seluruh hutan alamnya dalam waktu kurang dari 10 tahun ke depan. (nel-Kompas-12 Juni 2006)

Bertahan di Antara Gerusan Lahan

Berangsur-angsur mendung datang menghalau panas tepat di tengah hari ketika kaki menapaki kawasan Hutan Adat Buluhcina. Tekad menyusuri hutan ini menggebu setelah seorang warganya, Makmur Hendrik, menyatakan Buluhcina merupakan satu dari sedikit hutan alam asli di Riau. Tebersit keraguan akan definisi hutan alam yang dimaksud Makmur Hendrik. Pasalnya, hingga akhir 2005, praktis hutan alam di provinsi kaya minyak bumi ini hanya tersisa 650.000 hektar. Lebih dari 3 juta hektar hutan tergerus pembalakan serta perambahan liar, beralih fungsi untuk perkebunan dan hutan tanaman industri.

Namun, begitu berada di kawasan Buluhcina kesan asri segera menyergap. Pemandangan perkampungan tepi sungai yang bersih seketika memerangkap mata. Hampir tidak ada sampah mengapung atau tersangkut di sungai. Pepohonan rimbun menghijau di antara perumahan penduduk serta mengisi rapat lahan di sepanjang bantaran.

Hutan Buluhcina merupakan hutan hujan tropis yang dimiliki suku Melayu dan suku Domo. Hutan ini memiliki tujuh danau alam dengan variasi lebar 50-75 meter dan panjang 200-4.500 meter. Berbagai jenis ikan air tawar khas Riau hidup di danau itu, seperti ikan patin, baung, belida, selais, dan tuokang. Berbaur dengan tujuh danau itu, beragam kayu jenis rengas, meranti, kempas, kruing, kandis, merbau, cengkawang, serta beragam kayu lain diselingi pepohonan buah-buahan seperti durian dan cempedak hutan tumbuh subur. Jangan heran jika saat berjalan pun ditemui jejak beruang madu.

Beruang madu dewasa dapat mencapai tinggi 1,5-2 meter. Beruang madu hanya salah satu hewan liar yang hidup di hutan ini, selain siamang, rusa, burung, dan kupu-kupu. Di antara tumpukan dahan serta dedaunan di seluruh kawasan hutan, tumbuh berbagai jenis tanaman obat-obatan. Jamur, akar tanaman, dan berbagai tanaman lain berpotensi sebagai komoditas hutan bernilai ekonomis. Akar sundak langit kering misalnya, harganya mencapai Rp 22.000 per kilogram.

Untuk membuka peluang pemanfaatan potensi ekonomi termasuk wisata, warga pun bergotong royong membangun jalan lintas hutan. Ruas jalan sengaja dibuat berupa tanah bukaan yang dikeraskan dengan pemadatan tanah dan timbunan kerikil. Kesan alami penting bagi pengembangan wisata, tetapi kemudahan mobilitas pencari sundak langit dan jamur terpenuhi.

Dari tepian hutan, udara bersih dan sejuk mulai terasa. Semak, lumut, dan pepohonan setinggi puluhan meter tumbuh merata. Tak sampai lima menit menembus hutan, ditemukan pohon rengas berusia ratusan tahun. Pohon ini menjulang mencapai 20 meter dengan diameter minimal 1,5 meter.

Hutan Buluhcina sebagai tanah ulayat kini tinggal seluas 2.500 hektar. Pada tahun 1994, luas hutan tanah ulayat mencapai 5.000 hektar. Dalam kurun waktu tiga tahun, hutan ini tinggal 2.500 hektar, sisanya berpindah tangan ke pengusaha dan cukong kayu. Cukup lama proses menyadarkan kembali masyarakat yang telanjur aktif dalam perusakan hutan. Warga Buluhcina yang sempat terlena menjadi pembalak liar atau makelar jual beli lahan harus disadarkan satu per satu.

Masyarakat diajak kembali menekuni pekerjaan lamanya, sebagai pencari ikan, bercocok tanam, atau berkebun. Mereka membentuk sistem pengamanan hutan mandiri swadaya. Setiap pembalak liar akan mendapat peringatan. Jika ada yang mengulangi perbuatannya, mereka diserahkan ke polisi. (neli triana - Kompas - 24-August-06)

DESAKU

BULUHCINA KEMARIN, SEKARANG DAN ESOK